LAIRE KURAWA
Destarastra adalah kakak dari Pandu Dewanata. Ia
memiliki kekurangan, yakni tidak dapat melihat. Namun, itu sama sekali tidak
mengurangi rasa hormat Pandu Dewanata kepada kakaknya tersebut. Karena saking
hormatnya ia kepada kakaknya, Prabu Pandu membawa tiga putri dimana salah satu dari mereka akan dipersunting
Destarastra. Ketiga putri tersebut yakni Dewi Kunthi, Dewi Madrim, dan Dewi
Gendari.
Akhirnya, Destarastra memilih Dewi Gendari untuk dijadikan
istrinya. Dewi Gendari merasa kecewa. Seharusnya putri cantik sepertinya menjadi
istri Pandu Dewanata, bukan Destarastra yang buta itu. Dalam hati ia bersumpah
bahwa anak keturunannya dengan Destarastra tidak akan pernah akur dengan anak
keturunan Pandu Dewanata.
Tak lama kemudian, Dewi Gendari pun hamil. Namun, Destarastra merasa
sangat bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan kandungan Dewi Gendari yang
telah mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah mencapai 1000 hari lebih,
melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda
akan melahirkan si jabang bayi.
Selama mengandung, angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari
rasa dendam dan sakit hati kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas
keturunan sang pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah
lupa diucapkan dalam permohonan doa Dewi Gendari kepada dewata. Akan tetapi
saat itu belum juga ada dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara
Ngastinapura ini.
Pagi, siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa dirundung
perasaan resah, gelisah, dan bahkan hampir putus asa. Mengingat antara apa yang
menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah
melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang
diharapkannya. Pendek kata, selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah
memiliki ketentraman di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi,
permaisuri Pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama
Raden Puntadewa atau juga disebut Raden Wijakangka. bahkan Dewi Kunthi kini
telah dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu
macam perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini
semakin menjadi-jadi.
Ketiadamenentuan perasaan hati Dewi Gendari yang sedang berbadan
dua itu, mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam
bangsal Kaputren. Dewi Gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan
langkah-langkah gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jalan
setapak di antara hijaunya rerumputan, menuju ke taman sari kerajaan Ngastinapura
yang luas dan asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya.
Saat itu matahari telah condong ke barat, saat Dewi Gendari beserta
empat orang abdinya menulusuri jalan setapak yang terbuat dari pualam, diantara
semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi
taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas bagian-bagian taman yang luas
itu, pandangan matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akan tak
peduli dengan segala keindahan taman di sekelilingnya. Tak lama kemudian Dewi
Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman
yang terakhir.
Dalam bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun
jinak serta beragam unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun
binatang layaknya namun tampat terawat bersih dan rapi. Di tengah petamanan
margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan
dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar dengan indahnya. Ikan-ikan yang
berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-kejaran di bawah warna biru
jernihnya air. tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa kedatangannya di taman
satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi
beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah dan
ketakutan,semua ini merupakan firasat buruk.
Hembusan angin keras membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui
cuaca buru, Dewi Gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah Dewi
Gendari semakin dipercepat karena renai gerimis telah mulai turun. Tiba tiba
saja Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar
suara harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh
Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan di
tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang
kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan
mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental,
berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari
itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi
Gendari, karena emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah
belah, lalu ditendang-tendang dengan kakinya ke arah yagn tak menentu, pecahan
serta serpihan daging yang dilahirkan Dewi Gendari tercerai berai berserakan di
atas rerumputan taman. Dewi Gendari merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu
ia pun menjerit dan mengangis histeris, lalu pingsan. Setelah itu ia lalu
dibawa masuk ke Kaputren tempat kediamannya. Anehnya, setiap serpihan daging
yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah datang secara gaib dari
pertapaannya, meminta agar Destarasta memerintahkan para abddinya untuk
menutupi setiap serpihan daging itu dengan daun jati.
Dengan was-was serta perasaan takut yang tertahan, maka para emban
serta beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang
diperintahkan Destarasta, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati,
jumlahnya mencapai 100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di
Ngastinapura berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan
suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan,
burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya.
Binatang-binatang yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram dan
menakutkan meliputi Ngastinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam
ketakutan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Dewi Gendari yang telah siuman dari pingsannya turun dari tempat
peraduannya menuju tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya
untuk berputera banyak, bisa terkabul. tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara
gaib dan memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di
taman, Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tsb, karena itu adalah
puteranya. setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan
Dewi Gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Dan benar saja, saat terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju
ke taman. Dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana. Seluruh
isi kerajaan bahagia mendengar berita tersebut. Para Kurawa (putera
Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih mempunyai saudara
dan saudari pula. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putra lagi
bernama Duskampana dan seorang putri bernama Dursala
(atau Duççala atau Dussala).
Dretarastra mempunyai anak dengan seorang wanita dari kasta waisya,
yang dinamakan Yuyutsu. Nama Yuyutsu dalam bahasa
Sanskerta artinya ialah “yang memiliki kemauan untuk berperang/bertempur”.
Berbeda dengan para Kurawa pada umumnya, ia tidak berbuat jahat pada
para Pandawa, sepupunya. Saat perseteruan antara Pandawa dan Kurawa sudah
mencapai klimaks, dikeluarkanlah pengumuman untuk berperang. Yuyutsu bergabung
di bawah panji-panji pasukan Kurawa. Mereka berperang
di Kurukshetra, India Utara.
Sesaat sebelum perang di Kurukshetra dimulai, Yudistira —
yang sulung di antara Pandawa — maju ke hadapan pasukan Kurawa untuk memastikan
apakah ada yang berubah pikiran dan mau berpihak kepadanya. Hanya Yuyutsu yang
menanggapinya, sehingga ia keluar dari barisan pasukan Kurawa dan bergabung
dengan pasukan Pandawa. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis
keturunan Dretarastra, sementara saudaranya yang lain gugur semua di medan
perang Kurukshetra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar