BEGALAN
Kata "Begalan" berasal dari bahasa Jawa,
artinya perampokan. Dalam penyajiannya memang terjadi dialog sesuai dengan legenda.
Syahdan, pada saat putri bungsu Adipati Wirasaba (Kec. Bukateja, Kab.
Purbalingga) hendak dinikahkan dengan putri sulung Adipati Banyumas Pangeran
Tirtokencono. Begalan wajib dilaksanakan. Sebab bila tata cara ini tidak
diindahkan, dikhawatirkan bakal terjadi bencana atau musibah. Bencana bisa
menimpa kedua mempelai dalam mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Tradisi
Begalan di dalamnya sangat dipercaya mengandung kekuatan gaib dan unsur
Irasional.
Menurut para pakar budaya di Banyumas, tradisi begalan muncul sejak
Pemerintah Bupati Banyumas ke XIV, saat itu Raden Adipati Tjokronegoro (tahun
1850). Pada jaman itu Adipati Wirasaba berhajat mengawinkan putri bungsunya
Dewi Sukesi dengan Pangeran Tirtokencono, putra sulung Adipati Banyumas. Satu
minggu setelah pernikahannya Sang Adipati Banyumas berkenan memboyong kedua
mempelai dari Wirasaba ke Kadipaten Banyumas (ngunduh temanten),
berjarak kurang lebih 20 km.
Setelah menyeberangi sungai Serayu dengan menggunakan perahu tambang,
rombongan yang dikawal sesepuh dan pengawal Kadipaten Wirasaba dan Banyumas,
di tengah perjalanan yang angker dihadang oleh seorang begal (perampok)
berbadan tinggi besar, hendak merampas semua barang bawaan rombongan pengantin.
Terjadilah peperangan antara para pengawal melawan Begal raksasa yang mengaku
sebagai penunggu daerah tersebut.
Pada saat pertempuran akhirnya begal dapat dikalahkan. Kemudian lari
menghilang masuk ke dalam Hutan yang angker dan wingit. Perjalanan
dilanjutkan kembali, melewati desa Sokaweradan Kedunguter. Sejak itu para
leluhur daerah Banyumas berpesan terhadap anak cucu agar mentaati tata cara persyaratan
perkawinan, dikandung maksud kedua mempelai terhindar dari marabahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar